Rabu, 12 Juni 2013

UNEG - UNEG REDAKSI


Kartini, Dulu dan Kini

Ada tradisi lama bahwa Tabloid Berita DE FACTO selalu kontekstual dalam penyajian ragam beritanya. Pada edisi April 2013 kali ini, kami hadirkan tentang sosok wanita sejati Indonesia. Seorang emansipator, motivator, pionir, pendobrak dinding keterbelengguan dan keterbelakangan kaum wanita pada zamannya, yakni RA Kartini.
Rasanya tak berlebihan jika pendekar emansipasi wanita itu kita proyeksikan gagasan briliannya atas wanita-wanita kini dalam beragam level profesi mereka.
Juga, majalah ini telah mencatat sejumlah catatan menarik tentang ‘Kartini-kartini’ masa kini yang bisa kita jejer, deretkan di rubrik ini. Ada yang berprofesi sebagai polisi wanita, legeslatif, satuan polisi pamong praja [satpol PP], security, kepala desa, lurah, kepala dinas, camat, guru, dosen, dokter, lawyer, pebisnis, bankir, penyanyi, wanita penyapu jalan, dan bahkan penarik becak wanita.
Pertanyaannya, masih adakah ‘roh’ Kartini yang pernah hidup ratusan tahun silam itu jika disandingkan akan relevan dengan Kartini-Kartini era kini dalam keberagaman profesi strategis mereka di segala lini dan strata sosialitas kehidupan ini?
Sekali lagi, Tabloid Berita DE FACTO berupaya maksimal menghadirkan sosok emansipator perempuan, RA Kartini yang kami  gali dari berbagai referensi, tumpukan kepustakaan, dan sumber-sumber lain tentang segala sisi kemakhlukannya yang hingga hari ini – mungkin – masih menjadi idolatry kaum perempuan di republik ini.
Atau jangan-jangan figur Kartini itu hari-hari ini telah teredusir atau tergantikan oleh perempuan-perempuan kelas selebritas yang sudah kebablasan dijadikan icon baru yang saban saat di-copy paste, dijiplak dan digandrungi ‘kerendahan’ budayanya oleh . perempuan-perempuan kini itu.
Gagasan Kartini jelas dan tegas bahwa wanita itu tak sekadar menjadi konco wingking seperti macak, masak dan manak atau beraktifitas di seputar dapur, sumur dan kasur saja. Yang Kartini maui adalah bahwa wanita harus singsingkan jarit, clithas, berpacu cepat setara dan ‘jangan mau kalah’  dengan sisihan-nya yang bergender lelaki dalam ‘merebut’ posisi sosialitas dan profesionalitas di dalam hidup dan kehidupan ini. Tidak boleh kalah itu bukan dimaknai ‘injak kepala’ suami dan menjadi perempuan-perempuan  sak enak udele dewe alias mempertontonkan ujung pantat dan lobang pusar, pethakilan, nggladrah, semau gue yang longgar moralitas dan cekak budaya itu.
Jangan keliru menerjemahkan simbol. Figur Kartini tak harus secara fisik ditiru mentah-mentah mulai dari jarit, gelungan dan sandal jinjit. Tapi inner beauty-nya yang anggun dan berpekerti itulah yang hare-hare gene mesti para perempuan di negeri ini sanggup mengaplikasikannya sebagai keteladanan positif di mana dan dalam ber-apa saja.
Sudahkah? ■ redaksi.       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar