Kartini, Dulu
dan Kini
Ada tradisi lama
bahwa Tabloid Berita DE FACTO selalu
kontekstual dalam penyajian ragam beritanya. Pada edisi April 2013 kali ini,
kami hadirkan tentang sosok wanita sejati Indonesia. Seorang emansipator, motivator,
pionir, pendobrak dinding keterbelengguan dan keterbelakangan kaum wanita pada
zamannya, yakni RA Kartini.
Rasanya tak
berlebihan jika pendekar emansipasi wanita itu kita proyeksikan gagasan
briliannya atas wanita-wanita kini dalam beragam level profesi mereka.
Juga, majalah
ini telah mencatat sejumlah catatan menarik tentang ‘Kartini-kartini’ masa kini
yang bisa kita jejer, deretkan di rubrik
ini. Ada yang berprofesi sebagai polisi wanita, legeslatif, satuan polisi
pamong praja [satpol PP], security,
kepala desa, lurah, kepala dinas, camat, guru, dosen, dokter, lawyer, pebisnis, bankir, penyanyi,
wanita penyapu jalan, dan bahkan penarik becak wanita.
Pertanyaannya,
masih adakah ‘roh’ Kartini yang pernah hidup ratusan
tahun silam itu jika disandingkan akan relevan dengan Kartini-Kartini era kini
dalam keberagaman profesi strategis mereka di segala lini dan strata sosialitas
kehidupan ini?
Sekali lagi, Tabloid Berita DE FACTO berupaya
maksimal menghadirkan sosok emansipator perempuan, RA Kartini yang kami gali dari berbagai referensi, tumpukan
kepustakaan, dan sumber-sumber lain tentang segala sisi kemakhlukannya yang
hingga hari ini – mungkin – masih menjadi idolatry
kaum perempuan di republik ini.
Atau
jangan-jangan figur Kartini itu hari-hari ini telah teredusir atau tergantikan
oleh perempuan-perempuan kelas selebritas yang sudah kebablasan dijadikan icon
baru yang saban saat di-copy paste,
dijiplak dan digandrungi ‘kerendahan’ budayanya oleh . perempuan-perempuan kini
itu.
Gagasan Kartini
jelas dan tegas bahwa wanita itu tak sekadar menjadi konco wingking seperti macak, masak dan manak atau beraktifitas
di seputar dapur, sumur dan kasur saja. Yang Kartini maui adalah bahwa wanita
harus singsingkan jarit, clithas, berpacu cepat setara dan
‘jangan mau kalah’ dengan sisihan-nya yang bergender lelaki dalam
‘merebut’ posisi sosialitas dan profesionalitas di dalam hidup dan kehidupan
ini. Tidak boleh kalah itu bukan dimaknai ‘injak kepala’ suami dan menjadi
perempuan-perempuan sak enak udele dewe alias mempertontonkan ujung pantat dan lobang
pusar, pethakilan, nggladrah, semau gue yang longgar moralitas dan cekak
budaya itu.
Jangan keliru
menerjemahkan simbol. Figur Kartini tak harus secara fisik ditiru mentah-mentah
mulai dari jarit, gelungan dan sandal jinjit. Tapi inner beauty-nya yang anggun dan berpekerti
itulah yang hare-hare gene mesti para
perempuan di negeri ini sanggup mengaplikasikannya sebagai keteladanan positif
di mana dan dalam ber-apa saja.
Sudahkah? ■ redaksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar