Minggu, 14 Juli 2013

UNEG - UNEG REDAKSI

Jurnalis [ Bukan ] Pengemis

Ini benar-benar ‘sesuatu’ yang amat serius! Jangan pernah menganggap bahwa judul uneg-uneg di atas itu sekadar main-main. Pasalnya, TABLOID BERITA DE FACTO hadir perdana di Banyuwangi ini sangat ingin menepis tudingan minor yang selama ini terlontar dan terlanjur keprucut dari mulut banyak orang bahwa jurnalis itu pseudo-pengemis alias diindikatori oleh aksi meminta-minta.
Telah kami catat dan rekam, bahwa sepotong ‘kalimat sengak’ itu sudah terlalu lama menyengat dan memerahkan dua lembar daun telinga komunitas jurnalis ‘sebangsa’ kami ini. Entah kenapa, ternyata mulut banyak orang itu juga sudah kadung menyenandungkan lagu sumbang tentang profesi kami di sepanjang waktu dan dalam banyak kesempatan.
Maka, kesempatan ini lah yang kami pergunakan secerdas-cerdasnya untuk menepis dan menghalau jauh-jauh tentang ‘negative thinking’ yang telah lama mengendap di memori otak banyak orang. Juga telah menyumbat tabung-tabung akal sehat di kepala banyak pihak tentang buramnya citra profesi kejurnalistikan.
Pada momentum kali ini, kami ada keterpanggilan intelektual sekaligus moral untuk patuh asas atas kode etik jurnalistik [KEJ, red]. Juga, sangat tak ingin lambe-nya orang-orang di jalanan ngata-ngatain bahwa kami tak lebih hanya WTS [ wartawan tanpa surat kabar], GPRS [gertak, paksa, ruwet dan kemudian sikat], nggrandong¸ nggarong, mbodrex dan abal-abal. Bahkan, acapkali dirasani bahwa saban hari hanya gerudak-geruduk persis gerombolan rea-reo saja.
Dan, sebagai sense of balance atau penyeimbang atas semua itu, majalah ini telah melakukan standarisasi perekrutan, kompetensi personal, filterisasi perilaku dan pola pikir pekerja wartawannya. Kami emoh hanya ‘begita-begitu’ saja kemampuannya, mesti cerdas dan investigatif dalam hunting, melek huruf dan kualitatif dalam menulis karya tulis.
Maaf sejuta maaf, bahwa itu hanyalah secuil fakta yang sefakta-faktanya di lapangan sehingga kami tak memiliki keberanian untuk menghalus-haluskan apalagi nutup-tutupi yang dalam konteks ini, kami tidak sedang berlagak moralis, sok suci atau anti-materi. Ini semua semacam upaya ‘keberanian’ berkaca diri di cermin bening yang barangkali sangat jarang dilakukan oleh‘wartawan’kebanyakan. Jelasnya, kami tak perlu menunggu pihak-pihak lain mengkritisi dan mencelanya.
Silakan pembaca catat dan titeni, bahwa media kami sedang terus, dan terus mengasah ‘pisau jurnalistik’ setajam mungkin untuk membedah segala hal apa pun di hamparan ranah kejurnalistikan dalam konteks socialcontrol yang dibarengi nalar sehat, kejernihan nurani, kritis, jujur, analisis dan tentu dengan keterjagaan independensi tanpa harus nyludur menabraki rambu-rambu dan etika kejurnalistikan.
Sekali lagi, kali ini TABLOID BERITA DE FACTO tidak sedang main-main dan sekaligus tak ingin dipermainkan dan apalagi dijadikan ‘barang mainan’ oleh pihak siapa dan kelompok manapun. Pasalnya, kami sudah kadung erat menggenggam janji atas kesanggupan memanggul idealism profesi kewartawanan hingga hembusan nafas ini berakhir di ujung tenggorokan.
Kesanggupan kami sejatinya simplifikatif, sangat sederhana, yang salah satunya yakni nggolek atau mengendus, menggali untuk dikembangrangkumkan, dipublikasikan dengan benar, tepat, terjaga validitas dan keakurasiannya.
Jangan ngenyek! Di sisi lain, meski tampilan wajah media ini masih elek dan morat-marit begini, kami adalah perusahaan media cetak dengan orientasi manejemen industri yang kejelasan arahnya profit oriented tapi dengan berkebudayaan bersih dan halal. Urgent! Ini sangat penting, karena sebuah publisher – perusahaan media – sangat dituntut untuk menghidupi dan menyejahterakan seluruh crew keredaksiaannya sesuai dengan pasal-pasal yang tersirat sekaligus tersurat dalam ‘buku suci’ undang-undang pers. Jika tidak, ia [media] itu, telah terindikasi unsur kriminalisasi jurnalistik.
Akhirnya, biarkan banyak orang bermulut kenyih, omong kecut, dan menuding miring terhadap wartawan ‘bangsane’ kami yang disamasebangunkan dengan ‘pengemis’. Betapa pun, kami tetap ucapkan MERDEKA.

Cukup! ■ redaksi. 

OPINI

THE SUNRISE OF " ANAS "



Lelah! Langkah kaki ‘Bunda Sri Tanjung’ itu sudah terlalu panjang dan jauh menapaki jalanan ‘makadam’ yang terjal tajam berbatu. Mbrebes mili, di kedua kelopak matanya sembab berkaca-kaca.
Nelangsa! Dengan suara parau, beliau suntuk memanggil-manggil dan berharap seluruh ‘anak kandungnya’ agar segera bangun, berjaga dari tidur mlungker di empuk mewahnya spring bed hedonisme, dan kemanjaannya. Sebuah harapan dan sekaligus keprihatinan. Bergegaslah bangun! Kemudian raupo – cuci muka – dulu untuk mengawali pekerjaan yang tak enteng dalam membangun dan membangunkan ‘negeri Blambangan’ ini.
Negeri yang telah lama menjadi ibu kandung bagi jutaan anak-anaknya. Ironisnya, sudah berabad dan berkurun-kurun lamanya, anak-anak yang diberi mandat dan amanat itu tak kunjung juga membangunnya. Belum pernah menoreh dan berbuat sesuatu yang berarti. Mengigau atau ‘manipulasi’ amanat kah?
Banyuwangi adalah Negeri Gandrung yang loh jinawi. Tapi otak kita bebal. Tak pernah sepenuhnya sadar bahwa Gusti Allah yang Maha Asal Usul itu telah memfasilitasi kekayaan alam ini sangat berlimpah.  Bebatuan gunung ‘diglondong’ menjadi emas. Umbul air pegunungan dikemas menjadi natural drink yang segar alami. Ribuan kubik material pasir hitam tinggal ‘mbego’ saja di tegalan belakang rumah kita. Jutaan ‘pikul’ sulfur tinggal mengeruk yang ndledek dari tebing-tebing gunungnya. Ribuan hektar manisnya batang-batang tebu yang sejenak lagi ‘disulap’ menjadi berton-ton gula pasir. Lebih dari itu, mata kita pun telah dimanja oleh indah dan eksotisnya hamparan wisata. Jangan lupa, limpahan aset alam yang serba ada ini adalah ‘bengkok’ milik rakyat sak kabupaten. Apa sih yang tak ada di kabupaten ini? Hampir tak ada yang tidak ada.
Langit di atas sedang cemburu memandangi bumi. Saking ‘gemah ripah’nya, sehingga tak berlebihan jika keberadaan surga telah ‘bocor’ ke bumi Banyuwangi.
Pertanyaannya adalah, adakah ‘anak kandung’ yang mampu sekaligus mau hadirkan diri dengan ketotalitasannya, piawai sebagai konduktor orkestra kerakyatan dan sanggup mengaransemeni jenis tembang apa yang pas agar tak sumbang didengar telinga jutaan rakyat di kabupaten ini? Adakah ‘manusia Banyuwangi’ yang sanggup ‘menjadi matahari’ tanpa harus melihat status sosial, golongan, agama, etnis, warna kulit, rambut, warna baju dan gambar partai dalam membagikan cahayanya?
Misek-misek! Tangisnya ‘Bunda’ masih tersisa. Beliau masih juga memangggili anak-anak kandungnya untuk dipilih yang the best dan sanggup memanejemeni kompleksitas hajat hidup masyarakatnya, memiliki kearifan dan fleksibelitas. Juga, bisa mengolah, menakar dan  mengendalikan instinktifnya. Itulah, barangkali, ‘manusia’ yang layak untuk menjadi mata hati sekaligus mataharinya rakyat.
Langit gelisah sambil menatap dan memandangi bumi terus di bawahnya. Lebih dari itu, zaman pun sedang suntuk berunding bersama dengan realitas sosial untuk mencari bukan sekadar tokoh tapi pemimpin yang sanggup memimpin heterogenitas rakyatnya. Jutaan rakyat tak ingin terlalu lama menunggu dan juga tak ingin seperti anak ayam ‘sekarat’ di dalam lumbung ‘bulog’.
Intinya, hasil perundingan zaman itu sedang ditunggu banyak pihak agar bisa membawa angin segar, hawa sejuk, kondusifitas dan melahirkan pemimpin yang mau berpihak kepada nilai-nilai. Juga, mesti bersedia mendengar kelugasan aspirasi, mengurai komplikasi kesumpekan, dan ngeneng-ngeneng jeritan rakyat yang dipimpinnya. Bukan sebaliknya.
Rakyat sudah terlalu lama tersungkur, terkapar, tenggelam di dasar kedalaman jurang paling dalam. Hanya keputusharapan saja yang ada. Harapan menunggu uluran ikhlas tangan-tangan pemimpinnya untuk segera bisa menggapai, mbrangkang, merangkak lalu berpijak tegak di garis horison, di cakrawala keadilan menuju ke kesejahteraan dan kemuliaan kolektif.
Pseudo-Banyuwangi. Banyuwangi dilarang berpura-pura. Hing uleh main-main! Emergency! Darurat, bahwa kabupaten ini butuh sentuhan modernisasi dan modernitas dalam konteks apa pun, bagaimana dan terserah seperti apa praktiknya, yang penting jangan pernah menggagas untuk menomorsekiankan kedaulatan rakyat. Rakyatlah pemilik kedaulatan sejati.
Jika tak ingin terjadi ‘kualat massal’, Banyuwangi mesti dimayoreti, didirijeni, dikonduktori, diimami, dipengarepi dan dimanejemeni oleh watak kepemimpinan yang bernurani, dan bernafaskan kerakyatan. Posisikanlah rakyat sebagai subyek dan jangan dijadikan pelengkap penderita yang hanya untuk diiris-iris hatinya atau diguncang-guncang, dikapling-kapling haknya dan diaduk-aduk akal sehatnya.
Mudah-mudahan sinyal zaman itu telah menuntun seorang Abdullah Azwar Anas alias Kang Anas untuk membawa Banyuwangi ke garis cakrawala nilai dalam konteks kebenaran budaya, kejujuran politik, kepastian hukum, keadilan ekonomi, keluhuran rohani dan nilai apa pun yang pada hakikatnya senantiasa bersentuhan dan berakhir baik ‘di terminal’ kedaulatan rakyat. Sekali lagi, jangan sampai luput maning memilih meong dalam karung. 
Dalam dua tahun terakhir di awal 2013 ini, Kang Anas telah ambil ‘air wudlu’ agar terbebas dari hadas kecil maupun besar, agar kebersuciannya itu menjadi bagian dari green and clean dalam pengabdiannya. Pengabdian untuk mengabdi total dirinya sebagai penggembala, pelayan. Kesanggupan dan kebersediaannya menjadi jongos, gedibal atau abdi bagi hajat hidup dan nurani rakyatnya. Awali dengan nawaitu, fokuskan mulai detik dan detak ini di dalam rekaat demi rekaat, rukun demi rukun hingga ke tahun-tahun berikutnya. Out put kekhusukan dan keseriusan itulah yang ditunggu-tunggu banyak pihak.   
Harapan besar itu benar-benar ditunggu oleh rakyat banyak. Sejatinya, rakyat sedang gandrung, mendhem roso dan atau merindukan perubahan paling pondasi, paling mendasar seperti apa tho sebenarnya formulasi positif buat Banyuwangi sekarang dan esok hari agar  Banyuwangi ‘berwajah’ Banyuwangi.
‘Sang Bunda’ dan seluruh rakyat kepingin banget jika Kang Anas benar-benar menjadi The Sunrise atau matahari baru yang dengan ikhlas sinarnya mencahayai rakyat Banyuwangi. Juga, kemampuan dan kemauan mengejawantahkan alias mentransformasikan seluruh visi menjadi bangunan realitas.
Mesti dicatat bahwa hari-hari ini, Kang Anas dan kejujuran hati seluruh rakyat sudah bisa tersenyum sumringah, bahwa ratusan kilometer simpul-simpul akses jalan sudah mulus ‘berwajah’ Korea. Jangan hanya infrastruktur tapi infrakultur juga tak kalah pentingnya. Ilmu harus teraplikasikan sebagai tradisi intelektualitas. Cita-cita dan cinta kerakyatan sebagai modal utama etos kerja dan semangat hidup. Kerinduan utama yang paling ditunggu bersama jutaan rakyat adalah atas terbitnya ‘matahari’ esok pagi di ufuk Banyuwangi.  
Sekadar catatan kaki. Tak ada yang melarang siapa pun menumpuk gagasan bahkan impian-impian, tapi pada ujungnya nanti harus bisa    memfaktakannya. Jangan hanya mandeg di seremonialitas dan gempitanya deklarasi saja. Tapi wujudaken, aplikasikan, buktikonkritkan tentang cinta kebersamaan, kesehatian, dan kesenyawaan itu melalui perekat konsepsi : I Love Banyuwangi.    
Ini sama sekali bukan kalimat retoris. Tapi, Kang Anas, kini sedang dimuliakan oleh-Nya sebagai pemimpin. Kemuliaan yang wajib diproyeksikan, dicipratkan dengan adil dan berkeadilan ke seluruh jutaan rakyat yang dipimpinnya. Makanya,  mesti tegakkan kaki dengan mata pandang istikamah, jangan tolah-toleh tapi fokuskan untuk menuju satu titik kebenaran yang tepat.  
Jangan menunggu terlalu lama. Ada baiknya segera nyablon lagi untuk mengganti baliho yang sudah usang dan buram warnanya itu dengan kalimat : The Sunrise of Anas, sebagai bukti bahwa semua  keistikamahan itu [ pasti ] bisa dan mampu panjenengan buktikan.
Itu saja!                                     
Roy Enhaer. Penulis adalah Pemimpin Redaksi TABLOID BERITA DE FACTO dan kini tinggal di Banyuwangi.



“ ABRASI “ PANTAI BLIBIS ROGOJAMPI SUDAH TERKIKIS


BANYUWANGI, DE FACTO – Kembali warga masyarakat dusun Blibis, Patoman – Rogojampi merasakan dampak keganasan akibat Abrasi. Pasalnya, pekuburan satu-satunya yang dimiliki warga setempat semakin tergerus air laut. hingga, tepat pada hari selasa, jam 8 pagi pekan lalu air laut masuk kedalam areal pekuburan warga. serta, berkali kali di hantam ombak besar. Entah hal ini pihak siapa yang bertanggug jawab?

Sangat di sayangkan sekali jika hal ini di biarkan berlarut lama tanpa ada penanggulangan yang pasti dari pihak pemerintah Banyuwangi. pasalnya, pantai Blibis yang terletak di selatan pantai Blimbingsari ini juga sangat berpotensi sekali untuk di jadikan sebagai obyek wisata dan sekaligus sarana penunjang perekonomian warga desa patoman dusun Blibis pada khususnya.

Pekuburan warga yang ada di pinggir pantai ini sudah masuk dalam katagori buruk[red]. pasalnya,  jarak pekuburan dengan bibir pantai sudah kurang lebih setengah meter. dapat di pastikan, dalam waktu dekat pekuburan warga ini akan hilang terbawa air laut. Meski warga sudah berupaya, berusaha berkali-kali secara optimal namun usaha mereka seakan sia-sia tanpa uluran tangan dan campur tangan pihak pemerintah banyuwangi.

 Menurut keterangan warga “Mahoni”[47] warga dusun Blibis mengatakan “ Kami bersama warga yang lain sudah berusaha sekuat tenaga dan pikiran, baik dengan cara swadaya, hingga mencari sumbangan di pinggir jalan sudah kami lakukan yang hasilnya kami belikan gorong- gorong dan buat plengsengan sendiri, namun, tak berlarut lama hingga sampai hari ini ombak masih datang menghantam hingga masuk di areal pekuburan warga. kembali dikatakan mahoni bahwa “ kata pak kades sudah pernah di tinjau lokasi ini dan sudah di usulkan beberapa tahun yang lalu katanya bulan ini dan bulan ini sampai kejadian separah hari ini tak kunjung ada solusi yang pasti dari pihak pemerintah banyuwangi.

Harapan warga meminta pihak pemerintah untuk bisa menanggulangi serta mencarikan jalan solusi yang pasti dan secepat mungkin atas dampak Abrasi laut ini bukan hanya menunggu dan menungu??.

Dalam kejadian inipun  dampak kerugian yang di timbulkan Abrasi ini, 2 perahu warga rusak, lokasi warung sekaligus rumah warga berjumlah 10 tempat yang sebelumnya sudah 8 rumah makan di hantam hingga sekarang, tinggal 2 rumah makan sekaligus rumah warga terhantam pula oleh keganasan akibat Abrasi laut ini. 

Kejadian ini sebenarnya sudah terjadi lama akan tetapi tak ada solusi dari pihak pemerintah hingga pekan lalu Abrasi ganas membabi buta dan menghantam pekuburan warga kembali. Sementara dalam kejadian tersebut satu warga “ sajid “ juga terluka akibat terkena pecahan perahu yang terhantam ombak di saat sedang betulin perahu untuk persiapan mencari nafkah di laut.

Masih di tempat kejadian bencana Kepala Desa Patoman “  Drs.Suwito” mengatakan ” tetap bekerja semaksimal mungkin demi masyarakat, berusaha dan sudah mengajukan beberapa kali dan pada waktu itu sudah di respon dan di masukkan di anggaran 2014, dan Kades Patoman tetap berusaha untuk meminta Pemerintah melalui Dinas PU Pengairan untuk di masukkan PAK 2013 “.

Harapan Kades Patoman bersama warga masyarakatnya agar Pemerintah terkait, Bupati Banyuwangi pada khususnya untuk supaya mempercepat pembangunan dampak Abrasi ini dan bisa merealisasikan secepatnya sebelum terjadi korban yang di akibatkan dampak keganasan Abrasi ini.[ded/bud/nar]