THE SUNRISE OF " ANAS "
Lelah!
Langkah kaki ‘Bunda Sri Tanjung’ itu sudah terlalu panjang dan jauh menapaki
jalanan ‘makadam’ yang terjal tajam berbatu. Mbrebes mili, di kedua kelopak
matanya sembab berkaca-kaca.
Nelangsa!
Dengan suara parau, beliau suntuk memanggil-manggil dan berharap seluruh ‘anak
kandungnya’ agar segera bangun, berjaga dari tidur mlungker di empuk mewahnya spring
bed hedonisme, dan kemanjaannya. Sebuah
harapan dan sekaligus keprihatinan. Bergegaslah bangun! Kemudian raupo – cuci muka – dulu untuk mengawali pekerjaan yang tak enteng dalam membangun
dan membangunkan ‘negeri Blambangan’ ini.
Negeri yang telah lama menjadi ibu
kandung bagi jutaan anak-anaknya. Ironisnya, sudah berabad dan berkurun-kurun
lamanya, anak-anak yang diberi mandat dan amanat itu tak kunjung juga membangunnya.
Belum pernah menoreh dan berbuat sesuatu yang berarti. Mengigau atau ‘manipulasi’
amanat kah?
Banyuwangi adalah Negeri Gandrung yang loh jinawi.
Tapi otak kita bebal. Tak pernah sepenuhnya sadar bahwa Gusti Allah yang Maha Asal
Usul itu telah memfasilitasi kekayaan
alam ini sangat berlimpah. Bebatuan gunung
‘diglondong’ menjadi emas. Umbul air pegunungan
dikemas menjadi natural drink yang
segar alami. Ribuan kubik material pasir hitam tinggal ‘mbego’ saja di tegalan belakang rumah kita. Jutaan
‘pikul’ sulfur tinggal mengeruk yang ndledek dari tebing-tebing gunungnya. Ribuan
hektar manisnya batang-batang tebu yang sejenak lagi ‘disulap’ menjadi
berton-ton gula pasir. Lebih dari itu, mata kita pun telah dimanja oleh indah
dan eksotisnya hamparan wisata. Jangan lupa, limpahan aset alam yang serba ada
ini adalah ‘bengkok’ milik rakyat sak
kabupaten. Apa sih yang tak ada di
kabupaten ini? Hampir tak ada yang tidak ada.
Langit di atas sedang cemburu memandangi
bumi. Saking ‘gemah ripah’nya,
sehingga tak berlebihan jika keberadaan surga telah ‘bocor’ ke bumi Banyuwangi.
Pertanyaannya adalah, adakah ‘anak
kandung’ yang mampu sekaligus mau hadirkan diri dengan ketotalitasannya, piawai
sebagai konduktor orkestra kerakyatan dan sanggup mengaransemeni jenis tembang
apa yang pas agar tak sumbang
didengar telinga jutaan rakyat di kabupaten ini? Adakah ‘manusia Banyuwangi’ yang
sanggup ‘menjadi matahari’ tanpa harus melihat status sosial, golongan, agama, etnis,
warna kulit, rambut, warna baju dan gambar partai dalam membagikan cahayanya?
Misek-misek! Tangisnya ‘Bunda’ masih tersisa.
Beliau masih juga memangggili anak-anak kandungnya untuk dipilih yang the best
dan sanggup memanejemeni kompleksitas hajat hidup masyarakatnya, memiliki kearifan
dan fleksibelitas. Juga, bisa mengolah, menakar dan mengendalikan instinktifnya. Itulah,
barangkali, ‘manusia’ yang layak untuk menjadi mata hati sekaligus mataharinya
rakyat.
Langit gelisah sambil
menatap dan memandangi bumi terus di bawahnya. Lebih dari itu, zaman pun sedang
suntuk berunding bersama dengan realitas sosial untuk mencari bukan sekadar
tokoh tapi pemimpin yang sanggup memimpin heterogenitas rakyatnya. Jutaan
rakyat tak ingin terlalu lama menunggu dan juga tak ingin seperti anak ayam ‘sekarat’
di dalam lumbung ‘bulog’.
Intinya, hasil perundingan
zaman itu sedang ditunggu banyak pihak agar bisa membawa angin segar, hawa
sejuk, kondusifitas dan melahirkan pemimpin yang mau berpihak kepada
nilai-nilai. Juga, mesti bersedia mendengar kelugasan aspirasi, mengurai komplikasi
kesumpekan, dan ngeneng-ngeneng jeritan rakyat yang dipimpinnya.
Bukan sebaliknya.
Rakyat sudah terlalu lama tersungkur, terkapar,
tenggelam di dasar kedalaman jurang paling dalam. Hanya keputusharapan saja
yang ada. Harapan menunggu uluran ikhlas tangan-tangan pemimpinnya untuk segera
bisa menggapai, mbrangkang, merangkak
lalu berpijak tegak di garis horison, di cakrawala keadilan menuju ke kesejahteraan
dan kemuliaan kolektif.
Pseudo-Banyuwangi.
Banyuwangi dilarang berpura-pura. Hing
uleh main-main! Emergency!
Darurat, bahwa kabupaten ini butuh sentuhan modernisasi dan modernitas dalam
konteks apa pun, bagaimana dan terserah seperti apa praktiknya, yang penting
jangan pernah menggagas untuk menomorsekiankan kedaulatan rakyat. Rakyatlah
pemilik kedaulatan sejati.
Jika tak ingin terjadi
‘kualat massal’, Banyuwangi mesti dimayoreti, didirijeni, dikonduktori, diimami,
dipengarepi dan dimanejemeni oleh
watak kepemimpinan yang bernurani, dan bernafaskan kerakyatan. Posisikanlah rakyat
sebagai subyek dan jangan dijadikan pelengkap penderita yang hanya untuk diiris-iris
hatinya atau diguncang-guncang, dikapling-kapling haknya dan diaduk-aduk akal
sehatnya.
Mudah-mudahan sinyal
zaman itu telah menuntun seorang Abdullah Azwar Anas alias Kang Anas untuk membawa
Banyuwangi ke garis cakrawala nilai dalam konteks kebenaran budaya, kejujuran politik,
kepastian hukum, keadilan ekonomi, keluhuran rohani dan nilai apa pun yang pada
hakikatnya senantiasa bersentuhan dan berakhir baik ‘di terminal’ kedaulatan
rakyat. Sekali lagi, jangan sampai luput
maning memilih meong dalam karung.
Dalam dua tahun
terakhir di awal 2013 ini, Kang Anas telah ambil ‘air wudlu’ agar terbebas dari
hadas kecil maupun besar, agar
kebersuciannya itu menjadi bagian dari green
and clean dalam pengabdiannya. Pengabdian untuk mengabdi total dirinya sebagai
penggembala, pelayan. Kesanggupan dan kebersediaannya menjadi jongos, gedibal atau abdi bagi hajat
hidup dan nurani rakyatnya. Awali dengan nawaitu,
fokuskan mulai detik dan detak ini di dalam rekaat demi rekaat, rukun demi
rukun hingga ke tahun-tahun berikutnya. Out
put kekhusukan dan keseriusan itulah
yang ditunggu-tunggu banyak pihak.
Harapan besar itu benar-benar
ditunggu oleh rakyat banyak. Sejatinya, rakyat sedang gandrung, mendhem roso dan atau merindukan perubahan paling pondasi, paling mendasar seperti
apa tho sebenarnya formulasi positif
buat Banyuwangi sekarang dan esok hari agar Banyuwangi ‘berwajah’ Banyuwangi.
‘Sang Bunda’ dan
seluruh rakyat kepingin banget jika Kang Anas benar-benar menjadi
The Sunrise atau matahari baru yang dengan ikhlas sinarnya mencahayai
rakyat Banyuwangi. Juga, kemampuan dan kemauan mengejawantahkan alias mentransformasikan
seluruh visi menjadi bangunan realitas.
Mesti dicatat bahwa
hari-hari ini, Kang Anas dan kejujuran hati seluruh rakyat sudah
bisa tersenyum sumringah, bahwa
ratusan kilometer simpul-simpul akses jalan sudah mulus ‘berwajah’ Korea.
Jangan hanya infrastruktur tapi infrakultur
juga tak kalah pentingnya. Ilmu harus teraplikasikan sebagai tradisi
intelektualitas. Cita-cita dan cinta kerakyatan sebagai modal utama etos kerja
dan semangat hidup. Kerinduan utama yang paling ditunggu bersama jutaan rakyat
adalah atas terbitnya ‘matahari’ esok pagi di ufuk Banyuwangi.
Sekadar catatan kaki. Tak
ada yang melarang siapa pun menumpuk gagasan bahkan impian-impian, tapi pada ujungnya
nanti harus bisa memfaktakannya. Jangan
hanya mandeg di seremonialitas dan
gempitanya deklarasi saja. Tapi wujudaken,
aplikasikan, buktikonkritkan tentang cinta kebersamaan, kesehatian, dan
kesenyawaan itu melalui perekat konsepsi : I
Love Banyuwangi.
Ini sama sekali bukan
kalimat retoris. Tapi, Kang Anas, kini sedang dimuliakan oleh-Nya
sebagai pemimpin. Kemuliaan yang wajib diproyeksikan, dicipratkan dengan adil dan
berkeadilan ke seluruh jutaan rakyat yang dipimpinnya. Makanya, mesti tegakkan kaki dengan mata pandang istikamah,
jangan tolah-toleh tapi fokuskan untuk menuju satu titik kebenaran yang tepat.
Jangan menunggu terlalu
lama. Ada baiknya segera nyablon lagi
untuk mengganti baliho yang sudah usang
dan buram warnanya itu dengan kalimat : The
Sunrise of Anas, sebagai bukti bahwa semua keistikamahan itu [ pasti ] bisa dan mampu panjenengan buktikan.
Itu saja!
■ Roy Enhaer. Penulis adalah Pemimpin Redaksi TABLOID BERITA DE FACTO dan kini tinggal
di Banyuwangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar