Minggu, 14 Juli 2013

OPINI

THE SUNRISE OF " ANAS "



Lelah! Langkah kaki ‘Bunda Sri Tanjung’ itu sudah terlalu panjang dan jauh menapaki jalanan ‘makadam’ yang terjal tajam berbatu. Mbrebes mili, di kedua kelopak matanya sembab berkaca-kaca.
Nelangsa! Dengan suara parau, beliau suntuk memanggil-manggil dan berharap seluruh ‘anak kandungnya’ agar segera bangun, berjaga dari tidur mlungker di empuk mewahnya spring bed hedonisme, dan kemanjaannya. Sebuah harapan dan sekaligus keprihatinan. Bergegaslah bangun! Kemudian raupo – cuci muka – dulu untuk mengawali pekerjaan yang tak enteng dalam membangun dan membangunkan ‘negeri Blambangan’ ini.
Negeri yang telah lama menjadi ibu kandung bagi jutaan anak-anaknya. Ironisnya, sudah berabad dan berkurun-kurun lamanya, anak-anak yang diberi mandat dan amanat itu tak kunjung juga membangunnya. Belum pernah menoreh dan berbuat sesuatu yang berarti. Mengigau atau ‘manipulasi’ amanat kah?
Banyuwangi adalah Negeri Gandrung yang loh jinawi. Tapi otak kita bebal. Tak pernah sepenuhnya sadar bahwa Gusti Allah yang Maha Asal Usul itu telah memfasilitasi kekayaan alam ini sangat berlimpah.  Bebatuan gunung ‘diglondong’ menjadi emas. Umbul air pegunungan dikemas menjadi natural drink yang segar alami. Ribuan kubik material pasir hitam tinggal ‘mbego’ saja di tegalan belakang rumah kita. Jutaan ‘pikul’ sulfur tinggal mengeruk yang ndledek dari tebing-tebing gunungnya. Ribuan hektar manisnya batang-batang tebu yang sejenak lagi ‘disulap’ menjadi berton-ton gula pasir. Lebih dari itu, mata kita pun telah dimanja oleh indah dan eksotisnya hamparan wisata. Jangan lupa, limpahan aset alam yang serba ada ini adalah ‘bengkok’ milik rakyat sak kabupaten. Apa sih yang tak ada di kabupaten ini? Hampir tak ada yang tidak ada.
Langit di atas sedang cemburu memandangi bumi. Saking ‘gemah ripah’nya, sehingga tak berlebihan jika keberadaan surga telah ‘bocor’ ke bumi Banyuwangi.
Pertanyaannya adalah, adakah ‘anak kandung’ yang mampu sekaligus mau hadirkan diri dengan ketotalitasannya, piawai sebagai konduktor orkestra kerakyatan dan sanggup mengaransemeni jenis tembang apa yang pas agar tak sumbang didengar telinga jutaan rakyat di kabupaten ini? Adakah ‘manusia Banyuwangi’ yang sanggup ‘menjadi matahari’ tanpa harus melihat status sosial, golongan, agama, etnis, warna kulit, rambut, warna baju dan gambar partai dalam membagikan cahayanya?
Misek-misek! Tangisnya ‘Bunda’ masih tersisa. Beliau masih juga memangggili anak-anak kandungnya untuk dipilih yang the best dan sanggup memanejemeni kompleksitas hajat hidup masyarakatnya, memiliki kearifan dan fleksibelitas. Juga, bisa mengolah, menakar dan  mengendalikan instinktifnya. Itulah, barangkali, ‘manusia’ yang layak untuk menjadi mata hati sekaligus mataharinya rakyat.
Langit gelisah sambil menatap dan memandangi bumi terus di bawahnya. Lebih dari itu, zaman pun sedang suntuk berunding bersama dengan realitas sosial untuk mencari bukan sekadar tokoh tapi pemimpin yang sanggup memimpin heterogenitas rakyatnya. Jutaan rakyat tak ingin terlalu lama menunggu dan juga tak ingin seperti anak ayam ‘sekarat’ di dalam lumbung ‘bulog’.
Intinya, hasil perundingan zaman itu sedang ditunggu banyak pihak agar bisa membawa angin segar, hawa sejuk, kondusifitas dan melahirkan pemimpin yang mau berpihak kepada nilai-nilai. Juga, mesti bersedia mendengar kelugasan aspirasi, mengurai komplikasi kesumpekan, dan ngeneng-ngeneng jeritan rakyat yang dipimpinnya. Bukan sebaliknya.
Rakyat sudah terlalu lama tersungkur, terkapar, tenggelam di dasar kedalaman jurang paling dalam. Hanya keputusharapan saja yang ada. Harapan menunggu uluran ikhlas tangan-tangan pemimpinnya untuk segera bisa menggapai, mbrangkang, merangkak lalu berpijak tegak di garis horison, di cakrawala keadilan menuju ke kesejahteraan dan kemuliaan kolektif.
Pseudo-Banyuwangi. Banyuwangi dilarang berpura-pura. Hing uleh main-main! Emergency! Darurat, bahwa kabupaten ini butuh sentuhan modernisasi dan modernitas dalam konteks apa pun, bagaimana dan terserah seperti apa praktiknya, yang penting jangan pernah menggagas untuk menomorsekiankan kedaulatan rakyat. Rakyatlah pemilik kedaulatan sejati.
Jika tak ingin terjadi ‘kualat massal’, Banyuwangi mesti dimayoreti, didirijeni, dikonduktori, diimami, dipengarepi dan dimanejemeni oleh watak kepemimpinan yang bernurani, dan bernafaskan kerakyatan. Posisikanlah rakyat sebagai subyek dan jangan dijadikan pelengkap penderita yang hanya untuk diiris-iris hatinya atau diguncang-guncang, dikapling-kapling haknya dan diaduk-aduk akal sehatnya.
Mudah-mudahan sinyal zaman itu telah menuntun seorang Abdullah Azwar Anas alias Kang Anas untuk membawa Banyuwangi ke garis cakrawala nilai dalam konteks kebenaran budaya, kejujuran politik, kepastian hukum, keadilan ekonomi, keluhuran rohani dan nilai apa pun yang pada hakikatnya senantiasa bersentuhan dan berakhir baik ‘di terminal’ kedaulatan rakyat. Sekali lagi, jangan sampai luput maning memilih meong dalam karung. 
Dalam dua tahun terakhir di awal 2013 ini, Kang Anas telah ambil ‘air wudlu’ agar terbebas dari hadas kecil maupun besar, agar kebersuciannya itu menjadi bagian dari green and clean dalam pengabdiannya. Pengabdian untuk mengabdi total dirinya sebagai penggembala, pelayan. Kesanggupan dan kebersediaannya menjadi jongos, gedibal atau abdi bagi hajat hidup dan nurani rakyatnya. Awali dengan nawaitu, fokuskan mulai detik dan detak ini di dalam rekaat demi rekaat, rukun demi rukun hingga ke tahun-tahun berikutnya. Out put kekhusukan dan keseriusan itulah yang ditunggu-tunggu banyak pihak.   
Harapan besar itu benar-benar ditunggu oleh rakyat banyak. Sejatinya, rakyat sedang gandrung, mendhem roso dan atau merindukan perubahan paling pondasi, paling mendasar seperti apa tho sebenarnya formulasi positif buat Banyuwangi sekarang dan esok hari agar  Banyuwangi ‘berwajah’ Banyuwangi.
‘Sang Bunda’ dan seluruh rakyat kepingin banget jika Kang Anas benar-benar menjadi The Sunrise atau matahari baru yang dengan ikhlas sinarnya mencahayai rakyat Banyuwangi. Juga, kemampuan dan kemauan mengejawantahkan alias mentransformasikan seluruh visi menjadi bangunan realitas.
Mesti dicatat bahwa hari-hari ini, Kang Anas dan kejujuran hati seluruh rakyat sudah bisa tersenyum sumringah, bahwa ratusan kilometer simpul-simpul akses jalan sudah mulus ‘berwajah’ Korea. Jangan hanya infrastruktur tapi infrakultur juga tak kalah pentingnya. Ilmu harus teraplikasikan sebagai tradisi intelektualitas. Cita-cita dan cinta kerakyatan sebagai modal utama etos kerja dan semangat hidup. Kerinduan utama yang paling ditunggu bersama jutaan rakyat adalah atas terbitnya ‘matahari’ esok pagi di ufuk Banyuwangi.  
Sekadar catatan kaki. Tak ada yang melarang siapa pun menumpuk gagasan bahkan impian-impian, tapi pada ujungnya nanti harus bisa    memfaktakannya. Jangan hanya mandeg di seremonialitas dan gempitanya deklarasi saja. Tapi wujudaken, aplikasikan, buktikonkritkan tentang cinta kebersamaan, kesehatian, dan kesenyawaan itu melalui perekat konsepsi : I Love Banyuwangi.    
Ini sama sekali bukan kalimat retoris. Tapi, Kang Anas, kini sedang dimuliakan oleh-Nya sebagai pemimpin. Kemuliaan yang wajib diproyeksikan, dicipratkan dengan adil dan berkeadilan ke seluruh jutaan rakyat yang dipimpinnya. Makanya,  mesti tegakkan kaki dengan mata pandang istikamah, jangan tolah-toleh tapi fokuskan untuk menuju satu titik kebenaran yang tepat.  
Jangan menunggu terlalu lama. Ada baiknya segera nyablon lagi untuk mengganti baliho yang sudah usang dan buram warnanya itu dengan kalimat : The Sunrise of Anas, sebagai bukti bahwa semua  keistikamahan itu [ pasti ] bisa dan mampu panjenengan buktikan.
Itu saja!                                     
Roy Enhaer. Penulis adalah Pemimpin Redaksi TABLOID BERITA DE FACTO dan kini tinggal di Banyuwangi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar